iDR - CLICKIT

BERANDA

Kamis, 14 Oktober 2010

RENUNGAN BILIK KAMAR

Kemarin malam sebelum tidur seperti biasa saya bermain sebentar dengan putri kecil saya karena seharian saya ada di kantor dan waktu pulang kantor belum sempat bermain dengannya, jadi malam itu saya puas-puaskan bermain dengannya. Dan setelah anak saya tertidur mungkin akibat lelahnya bermain sekarang giliran saya yang harus tidur karena besok paginya harus pergi bekerja, namun waktu berjalan terus tetapi mata ini masih terang benderang dan tak bisa terpejam sama sekali sedangkan istri sudah terlelap tidur disamping saya maklum jam sudah menunjukkan pukul 23.30 WIB, waktu yang lazim dimana orang sudah lelap tidur.

Dalam perjuangan saya untuk tidur tersebut tiba-tiba saya teringat perkataan teman saya beberapa tahun silam yang dengan ketusnya mengomentari hasil rapat gereja hari itu dimana dia melayani. Bunyinya kira-kira seperti ini:  "Nuntutnya sih Professional Tapi Bayarannya Amatir". Apa pasalnya ? Rupanya teman saya ini merasa kesal dengan sikap Gembala Sidang dan tim penggembalaan yang ada, yang menuntut kinerja pelayanannya yang professional namun tidak diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan hidup pelayan-pelayannya. Jangankan untuk mengharapkan kenaikan gaji, gaji yang ada sekarang saja sering dibayar terlambat sehingga membuat dia dan istrinya harus memutar otak mencari uang pinjaman guna membeli kebutuhan sehari-hari yang sudah habis dan susu anaknya yang masih berusia 6 bulan.  Teman saya ini kerapkali berkata bahwa dulu zaman Kakek dan Ayahnya kebanyakan hanya pria saja yang bekerja dan wanita hanya jadi ibu rumah tangga saja namun kehidupan mereka berkecukupan bahkan lebih dari cukup. Sedangkan zaman sekarang suami dan istri bekerja namun hidup mereka tidak juga semakin membaik bahkan cenderung memburuk. Apakah hal ini menunjukkan taraf hidup masyarakat kita yang semakin menurun ataukah ada pihak-pihak yang sengaja menutup mata terhadap situasi ini termasuk mungkin di dalamnya Gereja ? Entahlah untuk menjawab persoalan ini saja banyak jawaban yang bisa diberikan. Dan saya tidak mau berpolemik dengan persoalan tersebut.

Namun yang selama ini saya melihat dan yakin bahwa orang lain yang mengenalnya juga mengetahui hal tersebut yaitu usahanya selama ini sebagai staff sudah sangat professional namun tidak mendapatkan apresiasi yang sama dari pemimpin diatasnya. Kok bisa ? Ya, bayangkan saja bagaimana tidak professional, sebagai seorang staff gereja dia diharuskan untuk masuk di kantor pukul 8 pagi dengan pekerjaan yang seabrek-abrek telah menanti dari mulai buat buletin, laporan keuangan, persiapan khotbah, latihan musik, mengunjungi jemaat yang sakit bahkan hampir semua tugas pelayanan penting dia lakukan sendiri sehingga mengharuskan dia pulang dari kantor pada pukul 6 sore itu pun jika tidak ada kegiatan pelayanan lainnya seperti doa malam, komsel dan lainnya yang mengharuskan dia pulang sampai pukul 11 malam ke rumah sehingga membuat dia kerap kali "menelantarkan" keluarganya karena alasan pelayanan tersebut.  Padahal gereja tidak membayar gajinya sesuai dengan Upah Minimum Regional pada waktu itu, tidak ada jamsostek seperti di dunia sekuler ditambah lagi kerap kali pemimpinnya berkata kita melayani Tuhan jadi nanti Tuhan yang berkati tidak usah kuatir dengan hidupmu; padahal pemimpinnya tahu bahwa teman saya itu memang berkekurangan sedangkan dia mendapatkan gaji yang lumayan besar untuk ukuran Gembala Sidang gereja berjemaat 800 orang. Ironis memang hidup para pelayan Tuhan ini! Di satu sisi, mereka selalu dituntut memiliki professionalisme kerja bahkan melebihi orang-orang di dunia sekuler namun upah yang mereka tidak sama bahkan jauh di bawah mereka-mereka yang bekerja sebagai karyawan-karyawan perusahaan pada umumnya.
Lalu bagaimana sikap kita seharusnya jika berada pada posisi ini ? Apakah selamanya Pelayan Tuhan harus mengalami polemik semacam ini tanpa ada usaha untuk memperbaikinya karena takut dikatakan tidak rohani ? Apakah selamanya kesejahteraan hidup dan professionalisme pelayanan harus terpolarisasi ?
Saya pribadi memiliki jawabannya sendiri terhadap persoalan tersebut.

Pertama, professionalisme pelayanan seharusnya diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan hidup pelayan itu sendiri. 
Jika kita melihat Alkitab kita dalam Ulangan 18:2-8,  2Janganlah ia mempunyai milik pusaka di tengah-tengah saudara-saudaranya; TUHANlah milik pusakanya, seperti yang dijanjikan-Nya kepadanya. 3Inilah hak imam terhadap kaum awam, terhadap mereka yang mempersembahkan korban sembelihan, baik lembu maupun domba: kepada imam haruslah diberikan paha depan, kedua rahang dan perut besar.  4Hasil pertama dari gandummu, dari anggurmu dan minyakmu, dan bulu guntingan pertama dari dombamu haruslah kauberikan kepadanya. 5Sebab dialah yang dipilih oleh TUHAN, Allahmu, dari segala sukumu, supaya ia senantiasa melayani TUHAN dan menyelenggarakan kebaktian demi nama-Nya, ia dan anak-anaknya. 6Apabila seorang Lewi datang dari tempat mana pun di Israel, di mana ia tinggal sebagai pendatang, dan dengan sepenuh hati masuk ke tempat yang akan dipilih TUHAN, 7 dan menyelenggarakan kebaktian demi nama TUHAN, Allahnya, sama seperti semua saudaranya, orang-orang Lewi, yang melayani TUHAN di sana, 8maka haruslah mereka mendapat rezeki yang sama, dengan tidak terhitung apa yang ia peroleh dengan menjual harta nenek moyangnya."

Disini kita melihat bagaimana Allah mengatakan bahwa Dialah yang menjadi milik pusaka suku Lewi yaitu suku yang melayani Tuhan (ay. 2) namun bukan berarti Allah membiarkan mereka melayani-Nya tanpa mendapatkan apa-apa, sebaliknya Allah memberkati hidup suku Lewi ini melalui umat yang datang kepada-Nya untuk mempersembahkan korban supaya mereka dapat tetap melayani dan menyelenggarakan kebaktian demi nama-Nya (ay.3-5). Dengan kata lain, Allah memberkati para pelayanNya bukan dengan cara supranatural seperti uang turun dari Surga atau harta karun di halaman rumah melainkan dari orang-orang yang datang menyembah Tuhan atau dalam bahasa kontemporernya dari jemaat-Nya.  Disinilah peranan gereja seharusnya terlihat jelas yaitu ketika gereja tersebut semakin diberkati dan terus berkembang sudah seyogyanya memperhatikan kesejahteraan pelayan-pelayan Tuhan di gereja tersebut. Tepatlah seperti yang dikatakan Winston Churchil seorang bangsawan dari Inggris,  “Kita bisa hidup dari apa yang kita dapatkan, namun kita membuat kehidupan dari apa yang kita berikan”. 

Kedua, diperlukannya revolusi paradigma di kalangan pemimpin gereja berkaitan dengan konsep pelayanan masa kini.
Saya cukup memahami bahwa kenapa paradigma dan "teologi penderitaan" tumbuh subur dikalangan gereja-gereja Pentakosta sejak dulu kala, karena sejarah mencatat gerakan Pentakosta yang terjadi di Azusa Street pada tahun 1906 dihadiri kebanyakan oleh orang-orang yang miskin, menderita dan tersisih dari masyarakat serta orang-orang yang mengalami rasisme. Kemudian dari gerakan ini muncullah pemimpin-pemimpin gereja yang berlatar belakang demikian pada awalnya dan terus berkembang sampai saat ini dengan pemimpin yang berbeda-beda latar belakang sekarang namun kebanyakan masih mendapatkan warisan dan tradisi dari sejarah masa lalu tersebut.  Sehingga sekalipun mereka telah menjadi pemimpin di zaman dan generasi yang berbeda warisan "pelayan Tuhan yang miskin dan menderita" masih terus dipegang dan dianut sebagai upaya pikul salib dan sangkal diri semata-mata. Namun benarkah demikian ? Tidak juga, justru banyak orang mencibir dengan situasi dan keadaan pelayan Tuhan yang demikian sebagai pelayan yang tidak diberkati padahal sering bicara mengenai berkat; tidak dikasihi padahal bicara mengenai kasih, dan lain sebagainya.  Tentu saja hal ini pada akhirnya menimbulkan kejengahan dari pihak-pihak tertentu dan memunculkan sebuah pemikiran yang bertolak belakang sama sekali soal pelayanan yaitu Teologi Kemakmuran yang dari judulnya saja semua orang bisa memahami bahwa maksud dari teologi ini adalah tidak lain dan tidak bukan bahwa kehidupan pelayanan harusnya memberkati pelayannya dengan melimpah sehingga tidak ada tempat bagi penderitaan di dalam pemahaman mereka. Penderitaan sama dengan kutuk atau dimurkai Allah. Apakah hal ini juga benar ? Jika tidak mengapa tumbuh dengan subur ?
Jawabannya adalah karena di zaman postmo ini masyarakat kita suka sesuatu yang instan, aman dan nyaman termasuk di dalam pelayanan sehingga jawaban yang mudah terhadap permasalahan penderitaan adalah kutuk dan murka Allah.
Lalu bagaimana seharusnya ? Dengan melakukan revolusi paradigma. Apa maksudnya ? Maksudnya adalah bahwa jangan lagi melihat dan menilai zaman ini dengan kacamata masa lalu atau pun juga sebaliknya tidak kebablasan dengan semua kenikmatan atau fasilitas yang tersedia dan ditawarkan di zaman ini seperti yang dilakukan oleh Peter Popoof dibawah ini yaitu memalsukan pelayanan untuk kepentingan dan kepuasan pribadinya.


Revolusi Paradigma hanya bisa terjadi dengan menjaga sebuah keseimbangan yaitu sudah sepatutnya pemimpin yang diatas sana memperhatikan kesejahteraan orang-orang yang dipimpinnya dan tugas orang-orang yang dipimpin terus meningkatkan professionalisme kerja dan pelayanannya.
Kiranya renungan singkat ini akan menjadi sedikit Oase ditengah-tengah teriknya padang gurun kehidupan dan pelayanan kita. Tuhan Memberkati!